Budhi
Seorang pria diduga teroris memegang pistol, disaksikan warga yang panik, di sekitar kawasan Sarinah, Jakarta, Kamis (14/1/2016)./Reuters
Bisnis.com , JAKARTA- Jakarta terguncang lagi. Aksi para teroris kembali terjadi. Kalau yang terjadi pada peristiwa teror sebelum-sebelumnya hanya peledakan bom, kemarin, kebrutalan kelompok orang biadab itu ditambah dengan tembakan senjata api kepada orang yang berada di sekitar lokasi kejadian.
Tanpa bermaksud mengecilkan arti korban dari warga sipil dan polisi pada kejadian di Sarinah Jalan MH Thamrin, Jakarta, kita bersyukur bahwa aksi teror yang pasti bertujuan untuk menebarkan rasa takut, tidak terlalu berdampak besar di kalangan pelaku bisnis.
Memang sempat terjadi kepanikan ketika indeks harga saham gabungan sempat anjlok pada akhir Sesi I sebesar 1,72% atau 77,86 poin ke level 4.459,32. Namun, IHSG ditutup tidak terlalu jatuh ditutup melemah 0,53% atau 23,99 poin ke level 4.513,18. Nilai tukar rupiah terhadap dolar AS ditutup di level Rp13.900.
Keyakinan bahwa kepanikan hanya berpengaruh sesaat terhadap IHSG dan nilai tukar rupiah dipercaya juga oleh otoritas pemerintahan seperti Menko Perekonomian Darmin Nasution, Menko Maritim dan Sumber Daya, serta Menteri Keuangan Bambang Brodjonegoro. Suara senada datang dari pejabat Bank Indonesia.
Menurut Darmin, aksi para teroris itu tidak usah terlalu dibesar-besarkan. Kalaupun ada reaksi dari pasar, Menko Perekonomian percaya bahwa keesokan hari pasar akan sudah biasa lagi.
Serangan biadab teroris berupa aksi pengeboman di Jakarta adalah yang kesekian kali terjadi. Tentu kita tidak berharap akan berulang lagi kasus serupa, namun sekarang ini pelaku pasar sudah mapan untuk tidak terlalu terganggu oleh teror.
Jelas ini memberikan sinyal positif bagi perekonomian nasional. Tinggal selanjutnya, pemerintah harus mampu menjaga keyakinan para pelaku bisnis dan tentunya rakyat Indonesia atas kondisi keamanan dalam negeri.
Tentulah, Presiden Joko Widodo sebagai orang nomor satu di negeri ini menjadi pucuk tertinggi yang bisa menebarkan keyakinan tersebut. Jangan sekalipun Jokowi memperlihatkan rasa takut terhadap aksi teror.
Tanpa bermaksud membandingkan lebih jauh, kita tentu masih ingat ketika Presiden keenam RI Susilo Bambang Yudhoyono berbicara dalam suat jumpa pers seusai peledakan di Hotel JW Marriott dan Ritz-Carlton pada Juli 2009.
Alih-alih bisa menenangkan rakyatnya, pidato SBY ketika itu yang bercerita bahwa dirinya juga mendapatkan ancaman pembunuhan membuat ketakutan malah merebak ke mana-mana.
Presiden Jokowi dalam waktu dekat harus menyusun rencana untuk mengembalikan rasa aman rakyat Indonesia ke level sebelum terjadinya tragedi bom Sarinah. Rasa percaya diri seorang Kepala Negara harus ditularkan kepada rakyatnya.
Dalam pesan yang disampaikan di sela-sela acara di Cirebon, Presiden Jokowi mengingatkan agar, “Negara , bangsa dan rakyat tidak boleh takut, tidak boleh kalah oleh aksi teror seperti ini. Dan saya harap masyarakat tetap tenang karena semua terkendali.”
Namun yang mesti juga diingat bahwa percaya diri yang tinggi tidak boleh membuat kewaspadaan berkurang. Aksi teroris justru kerap mendapatkan hasilnya ketika aparat keamanan lengah.
Yang juga harus menjadi perhatian pemerintah adalah keterkaitan pelaku teroris di Sarinah dengan jaringan yang lebih besar di dunia seperti Islamic State of Iraq and Syria (ISIS) yang sering melakukan aksi biadab di berbagai belahan bumi.
Memang sejak dulu, aksi teroris dalam negeri selalu memiliki keterkaitan dengan jaringan yang lebih besar. Sebelum ISIS, kita mengenal Al Qaeda dan Jamaah Islamiyah yang rantai organisasinya sampai ke beberapa wilayah di Indonesia.
Dari pemberitaan kantor berita yang beraliansi dengan ISIS, Aamaaq, seperti dikutip Reuters, terbetik kabar bahwa kelompok teroris sudah mengklaim sebagai pelaku aksi brutal di Sarinah, Thamrin, Jakarta.
Aparat keamanan dan terutama intelijen harus bekerja keras agar bisa mendeteksi satu persatu siapa dan kelompok mana yang terkait dengan ISIS. Banyak yang menilai penetrasi ISIS bersama simpatisannya dalam bentuk aksi teror akan lebih sulit dibendung dibandingkan dengan Al Qaeda dengan jaringannya.
Semakin cepat aparat mampu mendeteksi kelompok ini tentu semakin baik. Tentu kita tidak ingin kepercayaan masyarakat yang masih besar terhadap pemerintahan Presiden Jokowi tergerus sampai titik nadir karena ketidakmampuan aparat menanggulangi aksi teroris di negeri ini.
Source : Bisnis Indonesia (15/1/2016)
Editor : Linda Teti Silitonga